Istilah ini saya temukan dalam buku tipis hadiah dari Dr. Aji Kumara. Merupakan hasil paper yang dipresentasikan dalam sebuah simposium kredit mikro oleh Muhammad Yunus Februari 2006 di Dhaka, Bangladesh. Papernya berjudul: Microcredit : banking with the poor without collateral.
Diawal papernya dia mengawali dengan sub bab ‘sistem ketidakadilan’. Yunus mengulas bagaimana sistem keuangan saat ini yang tidak berpihak pada kaum miskin dan sangat miskin. Katanya, dua per tiga dari penduduk dunia tidak mampu mengakses lembaga keuangan konvensional.
Inilah yang kemudian oleh Yunus dikatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di dunia ini bukan karena kultur, namun karena sistem keuangan yang salah. Betapapun kerja keras dari si miskin, tidak peduli seberapa kuat dia berusaha, dia akan tetap terjebak dalam kemiskinan. Lebih tegas Yunus menyebut sistem ini sebagai apartheid financial. Sistem keuangan yang rasis.
Apartheid berasal dari apart yang artinya memisahkan dan heid berarti sistem atau hukum. Sistem pemisahan ras yang ditetapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan awal abad 20 hingga tahun 1990 (wikipedia).
Istilah ini dipinjam oleh Yunus untuk menggambarkan rasisnya sistem keuangan saat ini. Atas nama “kelayakan kredit” pemilik aset besar dan kuat berhak menikmati.
Bagi kaum miskin dan sangat miskin. Berbagai regulasi yang rumit menyebabkan mereka tidak mampu mengaksesnya.
Lalu, kemana si miskin ini akhirnya mengadukan kesulitan keuangan.
Yunus begitu shock saat menemukan seorang wanita yang memiliki hutang hanya US $ 0.25, namun dengan syarat peminjam memiliki hak eksklusif membeli seluruh hasil usaha dia dengan harga yang diputuskan oleh pemberi pinjaman.
Yunus mendata mereka yang terjebak pinjaman ini. Terkumpul 42 orang. Ia berusaha menolongnya. Menghubungkan dengan bank kampus. Di bank kampus mereka ditolak dengan alasan bank tidak memberikan kredit pada orang miskin. 42 orang ini akhirnya dibantu oleh Yunus dari uang sakunya sendiri.
Situasi ini persis dengan saat ini. Dimana, dalam konteks Indonesia. Orang kecil dan usaha super mikro tidak dapat mengakses sistem keuangan yang ramah. Dan akhirnya mereka terjebak dalam rente ribawi yang menggurita. Angka ratusan ribu sampai dua juta merupakan angka krusial bagi kaum miskin dan usaha super mikro. Mereka harus berjuang membayar pokok dan bunga berbunga yang cukup besar, dengan berdarah-darah bahkan harus meregang nyawa.
Lalu kemana mereka harus mengadu, berbagi cerita atas ujian hidup dan berharap solusi atas masalah yang dihadapi?